Kamis, 07 Januari 2010

Studi Komparatif Masyarakat Muslim”

Apakah keberadaan umat Islam mitos atau realitas? Apakah munculnya negara Islam adalah wujud kesalehan (piety) rakyatnya dan tingginya kedudukan ulama? Benarkah semakin taat beragama semakin rendah pula kesadaran gendernya? Apa yang membuat perempuan Islam lebih maju, reformasi politik atau pembaruan agama? Dan haruskah ketaatan beragama mendorong sikap anti modernitas?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sudah menjadi perdebatan lama dan tampaknya akan terus diperbincangkan di masa mendatang. Para sarjana Muslim yang memakai kacamata normatif cenderung mudah menyimpulkan bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan masyarakat yang berdiri kokoh di atas kesatuan ideologi agama. Keragaman praktik politik dan kehidupan sosial dipandang sebagai fenomena sekunder yang diyakini tetap berakar pada sistem nilai yang sama. Dengan kata lain, kesadaran simbolik selaku penganut agama dianggap lebih penting dalam menentukan identitas Muslim dibanding manifestasi tindakan sosial mereka dalam tataran empirik.

Secara kebetulan pula pandangan ini dipegang kalangan esensialis dalam tradisi kesarjanaan Barat. Karena bertujuan mencari kekhususan Islam, mereka lebih mengarahkan perhatiannya pada aspek doktrin dan nilai umum masyarakat Muslim. Pada tataran ini tidak banyak dijumpai variasi maupun kontradiksi sehingga upaya menciptakan generalisasi dan esensialisasi karakteristik umat Islam mudah dirumuskan. Bisa dipastikan komunitas Muslim di mana pun percaya pada al-Quran atau Nabi Muhammad, dan menganggap shalat, puasa, dan zakat sebagai wajib bagi mereka yang mampu. Secara umum pula kaum Muslimin beranggapan bahwa agama mereka tidak sekadar mengurusi soal rohani dan para ulama tidak hanya bertanggung jawab dalam masalah ritual peribadatan.

Lepas dari kenyataan tersebut, melihat Islam hanya dari aspek doktrin dan nilai-nilai umum akan cenderung mengecilkan arti perbedaan yang mengemuka di dalam masyarakat Muslim. Terlalu banyak perbedaan mendasar yang tidak lagi bisa dipahami sebagai sekadar keragaman. Kita bisa temukan pola kehidupan umum Muslim yang begitu beraneka mulai dari sistem kekerabatan, hubungan antarjenis, kepemimpinan sosial-politik, praktik ekonomi sampai kesenian, dan pendidikan. Dalam banyak kasus institusi masyarakat Muslim tersebut lebih dipengaruhi sistem nilai lain daripada nilai universal. Meskipun tetap berpengaruh, keyakinan agama tampaknya tidak begitu saja mampu menafikan sistem nilai lain, baik yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional.

Praktis karena persoalan ini beberapa sarjana sosial merasa skeptis dengan esensialisasi dan homogenisasi fenomena Islam. Mereka ragu terhadap konsep “umat”, tidak saja karena keragaman internal yang begitu tinggi, tetapi dalam banyak hal komunitas Muslim lebih dekat dengan budaya non-Muslim yang mengelilinginya dibanding dengan sesama Muslim di wilayah lain. Konsep “Islam” sendiri tidak luput dari sasaran keraguan karena begitu banyak pemaknaan terhadap agama ini sampai-sampai mengakibatkan perpecahan yang akut. Konflik antarmuslim seringkali tidak bisa diremehkan, atau dipandang sebagai fenomena semu, karena biaya yang harus dibayar sedemikian tinggi. Harus diakui bahwa sejak tahun-tahun awal sepeninggal Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah sepi dari konflik internal. Adakalanya hanya mengemuka dalam bentuk perdebatan agama atau friksi kelompok, tetapi adakalanya pula berdarah-darah bahkan sampai perang dalam skala besar.

Menjadi anakronistik jika konflik seperti ini tidak dipandang sebagai fakta penting hanya karena para aktor yang terlibat di dalamnya memeluk agama yang sama. Ujung-ujungnya banyak peristiwa pertentangan sosial dipandang sebagai sesuatu di luar Islam atau direduksi menjadi kesalahfahaman sebagaimana yang diyakini kaum esensialis dan apologetik. Dengan melihat intensitas konflik dan dalamnya perbedaan tersebut, adilkah kita mengecilkan arti keragaman umat Islam? Pertanyaan ini bukan untuk meniadakan pengaruh imajinasi tentang “Islam” atau “umat”, karena betapa pun simbolik dan abstrak doktrin-doktrin tersebut, sebagian perilaku Muslim ditentukan olehnya. Namun kita perlu ingat bahwa perbedaan di antara umat Islam sangatlah nyata dan mendasar, bukan semu atau akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai agama.

Rasanya tidak mudah mengurai berbagai fenomena kontradiktif yang bertalian dengan keseragaman dan keragaman Islam. Kita tidak saja dihadapkan pada pertanyaan apakah “Islam” dan “Muslim” itu merupakan mitos atau realitas, tetapi juga pada persoalan bagaimana dinamika keislaman berproses. Karena itu kita tidak hanya perlu memetakan aspek mana yang sama dan yang berbeda, tetapi juga dituntut menjelaskan mengapa terjadi kesamaan dan perbedaan. Tidaklah cukup bagi kita memilah Islam ke dalam wilayah normatif, doktriner, dan ideologis di satu sisi, dan membedakannya dari Islam historik, empirik dan praktis di sisi lain. Ada bermacam-macam variabel perantara yang perlu dijelaskan untuk menghubungkan yang normatif dan empirik atau yang seragam dan beragam sebelum kita sampai pada kesimpulan tentang fenomena tertentu dalam Islam.

Buku Faithlines: Muslim Conception of Islam and Society, yang kemudian diterjemahkan menjadi Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim (2006), karangan Profesor Riaz Hassan ini mencoba menawarkan alternatif untuk memahami persoalan-persoalan tersebut. Sebagai karya ilmu sosial, buku ini menekankan pentingnya analisis pada tingkat empirik, dan oleh karenanya metode survei menjadi pilihan tepat untuk penggalian data. Meskipun tidak bermaksud membuat generalisasi, dan lebih menekankan responden dari latar belakang kelas menengah, kajian komparatif yang disajikan sangat menarik. Pilihan empat negara —Indonesia, Pakistan, Kazakhstan, dan Mesir— cukup merepresentasikan keragaman masyarakat Muslim. Secara berurutan, Negara-negara tersebut mewakili Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah yang masing-masing memiliki sejarah, budaya dan politik distingtif. Karena sistematis menggunakan instrumen penelitian yang sama, kita bisa mengukur secara lebih pasti kesamaan dan keragaman yang ada di negara-negara tersebut dalam berbagai sisi kehidupan sosial-keagamaan.

Penelitian tentang masyarakat Islam yang menggabungkan metode survei dan perbandingan Negara (cross country comparative) terbilang langka. Literatur yang beredar umumnya mengkaji komunitas Muslim dari aspek normatif, dan kalau pun membahas dimensi empirik, rata-rata sarjana menerapkan pendekatan kualitatif. Kepustakaan yang membandingkan dua atau lebih negara-negara Muslim cukup tersedia, tetapi lagi-lagi menggunakan analisis kualitatif. Dari segi data, kajian-kajian tersebut telah berperan besar dalam proses akumulasi pengetahuan tentang masyarakat Muslim, tetapi kita juga memerlukan kajian empirik yang secara sistematis dan terukur menggali realitas Muslim kontemporer.

Aspek kehidupan agama yang dijadikan objek kajian dalam buku ini adalah kepercayaan sehari-hari (everyday belief). Cakupannya cukup luas, mulai dari sikap Muslim terhadap doktrin-doktrin agama, praktik ritual keagamaan mereka, sampai pada pandangan mereka mengenai isu-isu kontemporer seperti hubungan entarjenis kelamin (gender relations), negara Islam, toleransi dan pluralisme. Melalui pendekatan ini kita bisa melihat fenomena Islam yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jika kajian normatif memberi kita informasi tentang universalitas islam, kali ini kita akan temukan bagaimana nilai-nilai tersebut disikapi, dipahami, dan ditransformasikan dalam praktik sosial sehari-hari. Sebaliknya, jika kajian empririk senantiasa menyajikan fakta-fakta keras (hard facts) yang beragam tentang Islam, buku ini mencoba menggali imajinasi dan kepercayaan subjektif Muslim melalui wawancara testruktur. Hasilnya sangat menarik, tidak ada kesimpulan sederhana yang dapat mewakili gambaran Muslim secara universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar