Jumat, 08 Januari 2010

PERKAWIN BEDA AGAMA

KAWIN BEDA AGAMA
I. PENDAHULUAN
Pernikahan atau perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk menjalankan kehidupan dalam sebuah keluarga. Perkawinan memang sampai saat ini masih menyimpan berbagai kasus-kasus baru yang titik temunya tidak mudah untuk ditemukan. Kawin beda agama adalah salah satunya, tentu masyarakat awam atau orang yang berpenduduk dalam sebuah tempat penganut agama yang kuat jarang mendengar kasus ini. Namun, perkawinan yang seperti ini tidak jarang kita temukan di kota metropolitan atau kota-kota maju yang lain. Kawin beda agama merupakan perkawinan yang dilakukan antara sepasang manusia, namun mereka menganut sebuah keyakinan atau agama yang berbeda. Ini menjadi sebuah kasus yang rumit disebabkan bahwa aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, mulai dari Undang-undang, agama, dan adat tidak secara pasti dan bahkan menolak tentang perkawinan semacam ini.
II. LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang sah di mata agama maupun hukum negara. Di zaman sekarang ini perkawinan yang menganut beda prinsip alias berbeda agama semakin marak terjadi. Tidak hanya di kalangan atas, seperti artis dan sebagainya tetapi, masyarakat bawah pun juga demikian. Namun, pernikahan yang seperti ini apakah merupakan pernikahan yang sah, baik di mata hukum agama maupun negara. Sehingga perlu ada sebuah ketegasan dalam menyelesaikan kasus ini.
III. PEMBAHASAN
A. Kawin Beda Agama Menurut Undang-undang
Dalam kasus yang nyata, bahwa untuk mengadakan perkawinan yang berbeda keyakinan tentu menemukan banyak kendala dan kesulitan-kesulitan. Kita lihat saja dalam Undang-undang yang menjadi dasar aturan kita, Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 2 ayat 1 mengungkapkan : “perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.” Berarti perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila para pihak (calon suami dan isteri) menganut agama yang sama. Dari perumusan pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bila ingin melangsungkan perkawinan, salah satu pihak harus menundukkan diri atau harus menganut satu agama yang sama. Sehingga pelaksanaan perkawinan harus menggunakan tata cara perkawinan yang sama, misalnya menurut hukum Islam atau Kristen, atau Protestan, dan seterusnya.
Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama lebih sering digunakan dalam menyiasati problem perkawinan beda agama. Dengan demikian perkawinan baru dapat dicatatkan dan sah menurut hukum negara. (Pasal 2 ayat 2 : bahwa perkawinan harus dicatat.). Perkawinan di Kantor Catatan Sipil sebenarnya bukan merupakan perkawinan karena pencatatan hanya berfungsi untuk mencatat telah terjadi perkawinan, sehingga tidak hanya sah secara agama tetapi juga sah menurut hukum negara. Artinya para pihak mendapat perlindungan hukum berupa akta perkawinan dan bagi anak kelak mendapat akta kelahiran. Bila perkawinan tidak dilakukan pencatatan, mereka tak mendapat akta perkawinan dan anaknya tak mendapat akta kelahiran. Dengan demikian pencatatan merupakan bentuk pengesahan perkawinan oleh hukum negara.
Namun, kalau diteliti lebih lanjut Undang-undang perkawinan ini tidak menjelaskan secara tegas apakah kawin beda agama dibolehkan atau tidak. Karena konteks yang dipakai dalam pasal 2 ayat 1 tersebut mengesahkan perkawinan menurut hukum masing-masing agama. Dengan demikian, boleh tidaknya perkawinan beda agama dikembalikan pada agama masing-masing dan hukum negara tinggal mengikutinya. Jadi, apabila hukum agama itu membolehkannya, misalnya saja Islam dan Kristen. Dalam hukumnya sama sekali tidak melarang mengadakan pernikahan silang (beda agama) maka tentu negara tidak bisa menghalang-halangi terjadinya perkawinan tersebut.
B. Kawin Beda Agama Menurut KHI
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan bahwa dasar-dasar perkawinan yang sah adalah perkawinan yang didasarkan pada hukum Islam. Ini dapat dilihat pada pasal 4 bab 2 dalam KHI, menyebutkan : “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat I Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.” Jadi bagi orang Islam, perkawinan tidak akan dianggap sah apabila dilakukan di luar hukum Islam. Sedangkan bagi non muslim harus sesuai hukum agamanya sendiri, sesuai pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tadi.
C. Kawin Beda Agama Menurut Agama
Salah satu penyebab perkawinan seperti ini sangat sulit dilaksanakan di Indonesia, adalah hukum negara hanya mengikuti hukum agama. Dan agama sendiri masih menemukan perdebatan-perdebatan dalam kasus yang rumit ini. Sebuah kasus yang tidak mudah ditemukan solusinya. Dalam Islam, membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab. Namun dalam perkembangan selanjutnya masih ada perbedaan pendapat tentang ini. Dasar yang digunakan adalah firman Allah yang berbunyi : "Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya".
Berbeda dengan MUI yang sudah jelas menetapkan perkawinan beda agama, dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA dengan berpegang teguh pada dalil agama dalam surat Al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Maka MUI mengeluarkan fatwa bahwa : 1.Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2.Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ditinjau dari siapa yang menikah dengan orang yang memeluk dari agama lain (laki-laki atau perempuan), maka para Ulama’ berpendapat :
1. Wanita Islam menikah dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria bukan Islam. Dasar keharamannya termaktub di dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 221. "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu". Ini dapat disimpulkan bahwa wanita muslim selamanya diharamkan untuk menikah dengan laki-laki non muslim termasuk ahli kitab. Ini menjadi syarat mutlak bagi si wanita bahwa calon suami harus beragama Islam.
2. Pria Islam menikah dengan wanita bukan Islam. Para Ulama’ berpendapat bahwa wanita non muslim yang boleh dinikahi adalah dari golongan ahli kitab (kitabiyah). Namun, dalam perkembangan selanjutnya Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Maka, apabila keluar dari ketiga syarat itu ia tidak boleh dinikahi.
Demikian juga aturan agama-agama lain yang lebih menekankan pada larangan untuk menikah dengan pemeluk yang lain. Agama Katholik pada prinsipnya melarang perkawinan beda agama kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup memberi dispensasi. Agama Protestan membolehkan perkawinan beda agama dengan syarat pihak non-Protestan harus membuat pernyataan keberatan perkawinan dilangsungkan di gereja Protestan. Demikian pula agama Hindhu dan Budha melarang perkawinan beda agama.
D. Kawin Beda Agama dari Aspek HAM
Penitikberatan terhadap larangan kawin beda agama oleh UU dan hukum agama ternyata ditentang keras oleh para pejuang HAM. Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip HAM itu sendiri. Padahal, masalah agama merupakan salah satu komponen HAM yang dijamin oleh UUD sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti negara tidak turut campur dalam masalah-masalah agama, tak terkecuali dalam masalah perkawinan. Karena dalam UU HAM Pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Jadi, prinsip perkawinan hanya bisa dilakukan jika tidak ada paksaan dari kedua belah pihak. Dan larangan yang menyatakan keharaman tentang perkawinan ini sangatlah bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
E. Solusinya
Perkawinan yang tidak disahkan baik itu menurut agama maupun Negara, menimbulkan masalah serius tersendiri dalam pemecahannya. Jika seseorang masih memegang prinsip bahwa perkawinan ini baginya harus dilakukan, menurut Prof. Wahyono Darmabrata ada empat cara yang bisa dilakukan yaitu meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri.
Namun, larangan terhadap pernikahan ini pada dasarnya adalah bertujuan untuk menjauhkan dari fitnah dan madharat di kemudian hari. Karena masalah-masalah baru akan muncul setelah terjadinya pernikahan. Misalnya, perkembangan anak tentunya akan mempengaruhi masa depannya. Karena prinsip yang dimiliki oleh ortunya pun sudah tidak harmonis. Maka. Pernikahan yang sah baik oleh agama maupun Undang-undang adalah lebih baik dan tentu lebih nyaman bagi kedua belah pihak.
IV. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aturan hukum negara Indonesia mengenai perkawinan, dapat di laksanakan dan sah menurut hukum apabila sesuai dengan hukum agama masing-masing. Mengenai sah dan tidaknya perkawinan beda agama diserahkan pada hukum agama masing-masing. Namun dalam Undang-undang sendiri sangat memberatkan pernikahan ini, pasalnya, hampir semua agama di Indonesia menolaknya. Maka untuk menjaga kemaslahatan, pernikahan yang wajar dalam artian seagama adalah lebih baik.
V. PENUTUP
Demikian pemaparan makalah yang dapat kami sampaikan. Kami yakin dalam penulisan materi makalah ini masih banyak kesalahan-kesalahan. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah kami yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat pada kita semua.