Kamis, 07 Januari 2010

PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA


Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masing-masing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahsan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.
1. Perspektif Fungsionalis
Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Melalui Talcott Parsons (1937), Kingslay Davis (1937), dan Robert K. Merton (1957) sebagai juru bicara terkemuka, perspektif ini melontarkan pandangan bahwa setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus-menerus, karena hal itu dipandang fungsional.
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut: (1) Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian-bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya. (2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi dari satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi. (3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari mekanisme ini adalah komitmen anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama. (4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium, dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni atau stabilitas. (5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat. Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang diberikan pada sistem sosial. Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan kontrol terhadap perilaku individu.

2. Perspektif Konflik
Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Salah satu pertanyaan menarik yang terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain untuk mematuhi kehendak kelompok dominan. Kepatuhan inilah yang pada akhirnya memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.
3. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Dalam wacana sosiologi kontenporer, istilah interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer melalui tiga proposisinya yang terkenal: (a) Manusia berbuat terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi mereka; (b) Makna-makna tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial; (c) Tindakan sosial diakibatkan oleh kesesuaian bersama dari tindakan-tindakan sosial individu.
Dengan mendasarkan pada ketiga proposisi diatas, perspektif interaksionisme simbolik melihat pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan hubungan-hubungan sosial. Pengaruh paling signifikan dari agama terhadap individu adalah berkenaan dengan perkembangan identitas sosial. Dengan menjadi anggota dari suatu agama, seseorang lebih dapat menjawab pertanyaan “siapa saya?”.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa identitas keagamaan, dan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan agama merupakan produk dari sosialisasi. Oleh karenanya, kalangan interaksionis lebih melihat agama dari sudut peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas sosial dan penempatan individu dalam masyarakat.
Dari ketiga perspektif utama dalam sosiologi diatas, yang nantinya akan dibahas lebih detail dalam bab-bab selanjutnya, setidaknya kita sudah bisa melihat apa sebenarnya yang menjadi pokok kajian para sosiolog ketika mereka mengkaji permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Luasnya cakupan dimensi agama yang ada sebagai konseskuensi dari kecenderungan para sosiolog mendefinisikan agama secara inklusif sebenarnya telah membuka kesempatan yang luas bagi berbagai perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan kontribusi maksimal bagi upaya memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan beragam keyakinan dan doktrin-doktrin keagamaan yang ada. Namun demikian, pembahasan sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang berkembang dimasyarakat selama ini cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda agama bagi masyarakat, yaitu fungsi integratif dan disintegratif. Oleh karena itu, sebelum kita berupaya mengaplikasikan berbagai perspektif sosiologis untuk mengungkapkan fenomena keberagamaan yang lebih luas dan kompleks, secara sepintas kita perlu untuk melihat kembali bagaiamana para sosiolog menggambarkan fungsi ganda agama ini. Dari sini setidaknya kita akan mendapatkan gambaran bagaimana konsekuensi sosial yang muncul dari serangkaian ritual dan praktek keagamaan dilihat dari perspektif sosiologis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar