Jumat, 08 Januari 2010

PERKAWIN BEDA AGAMA

KAWIN BEDA AGAMA
I. PENDAHULUAN
Pernikahan atau perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk menjalankan kehidupan dalam sebuah keluarga. Perkawinan memang sampai saat ini masih menyimpan berbagai kasus-kasus baru yang titik temunya tidak mudah untuk ditemukan. Kawin beda agama adalah salah satunya, tentu masyarakat awam atau orang yang berpenduduk dalam sebuah tempat penganut agama yang kuat jarang mendengar kasus ini. Namun, perkawinan yang seperti ini tidak jarang kita temukan di kota metropolitan atau kota-kota maju yang lain. Kawin beda agama merupakan perkawinan yang dilakukan antara sepasang manusia, namun mereka menganut sebuah keyakinan atau agama yang berbeda. Ini menjadi sebuah kasus yang rumit disebabkan bahwa aturan-aturan yang berlaku di Indonesia, mulai dari Undang-undang, agama, dan adat tidak secara pasti dan bahkan menolak tentang perkawinan semacam ini.
II. LATAR BELAKANG MASALAH
Pernikahan yang sah adalah pernikahan yang sah di mata agama maupun hukum negara. Di zaman sekarang ini perkawinan yang menganut beda prinsip alias berbeda agama semakin marak terjadi. Tidak hanya di kalangan atas, seperti artis dan sebagainya tetapi, masyarakat bawah pun juga demikian. Namun, pernikahan yang seperti ini apakah merupakan pernikahan yang sah, baik di mata hukum agama maupun negara. Sehingga perlu ada sebuah ketegasan dalam menyelesaikan kasus ini.
III. PEMBAHASAN
A. Kawin Beda Agama Menurut Undang-undang
Dalam kasus yang nyata, bahwa untuk mengadakan perkawinan yang berbeda keyakinan tentu menemukan banyak kendala dan kesulitan-kesulitan. Kita lihat saja dalam Undang-undang yang menjadi dasar aturan kita, Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 2 ayat 1 mengungkapkan : “perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.” Berarti perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila para pihak (calon suami dan isteri) menganut agama yang sama. Dari perumusan pasal 2 ayat 1 ini tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Bila ingin melangsungkan perkawinan, salah satu pihak harus menundukkan diri atau harus menganut satu agama yang sama. Sehingga pelaksanaan perkawinan harus menggunakan tata cara perkawinan yang sama, misalnya menurut hukum Islam atau Kristen, atau Protestan, dan seterusnya.
Penundukan diri terhadap salah satu hukum agama lebih sering digunakan dalam menyiasati problem perkawinan beda agama. Dengan demikian perkawinan baru dapat dicatatkan dan sah menurut hukum negara. (Pasal 2 ayat 2 : bahwa perkawinan harus dicatat.). Perkawinan di Kantor Catatan Sipil sebenarnya bukan merupakan perkawinan karena pencatatan hanya berfungsi untuk mencatat telah terjadi perkawinan, sehingga tidak hanya sah secara agama tetapi juga sah menurut hukum negara. Artinya para pihak mendapat perlindungan hukum berupa akta perkawinan dan bagi anak kelak mendapat akta kelahiran. Bila perkawinan tidak dilakukan pencatatan, mereka tak mendapat akta perkawinan dan anaknya tak mendapat akta kelahiran. Dengan demikian pencatatan merupakan bentuk pengesahan perkawinan oleh hukum negara.
Namun, kalau diteliti lebih lanjut Undang-undang perkawinan ini tidak menjelaskan secara tegas apakah kawin beda agama dibolehkan atau tidak. Karena konteks yang dipakai dalam pasal 2 ayat 1 tersebut mengesahkan perkawinan menurut hukum masing-masing agama. Dengan demikian, boleh tidaknya perkawinan beda agama dikembalikan pada agama masing-masing dan hukum negara tinggal mengikutinya. Jadi, apabila hukum agama itu membolehkannya, misalnya saja Islam dan Kristen. Dalam hukumnya sama sekali tidak melarang mengadakan pernikahan silang (beda agama) maka tentu negara tidak bisa menghalang-halangi terjadinya perkawinan tersebut.
B. Kawin Beda Agama Menurut KHI
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan bahwa dasar-dasar perkawinan yang sah adalah perkawinan yang didasarkan pada hukum Islam. Ini dapat dilihat pada pasal 4 bab 2 dalam KHI, menyebutkan : “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat I Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.” Jadi bagi orang Islam, perkawinan tidak akan dianggap sah apabila dilakukan di luar hukum Islam. Sedangkan bagi non muslim harus sesuai hukum agamanya sendiri, sesuai pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tadi.
C. Kawin Beda Agama Menurut Agama
Salah satu penyebab perkawinan seperti ini sangat sulit dilaksanakan di Indonesia, adalah hukum negara hanya mengikuti hukum agama. Dan agama sendiri masih menemukan perdebatan-perdebatan dalam kasus yang rumit ini. Sebuah kasus yang tidak mudah ditemukan solusinya. Dalam Islam, membolehkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab. Namun dalam perkembangan selanjutnya masih ada perbedaan pendapat tentang ini. Dasar yang digunakan adalah firman Allah yang berbunyi : "Dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan Ahlulkitab dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya. Dan tidak dihalalkan bagi perempuan-perempuan mukmin kawin dengan laki-laki Ahlulkitab dan laki-laki lainnya".
Berbeda dengan MUI yang sudah jelas menetapkan perkawinan beda agama, dalam Keputusan Fatwa Majelis Ulama’ Indonesia Nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang PERKAWINAN BEDA AGAMA dengan berpegang teguh pada dalil agama dalam surat Al-Baqarah ayat 221 yang berbunyi : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Maka MUI mengeluarkan fatwa bahwa : 1.Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2.Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab, menurut qaul mu'tamad, adalah haram dan tidak sah.
Ditinjau dari siapa yang menikah dengan orang yang memeluk dari agama lain (laki-laki atau perempuan), maka para Ulama’ berpendapat :
1. Wanita Islam menikah dengan pria bukan Islam. Seluruh ulama sejak zaman sahabat hingga abad modern ini sepakat bahwa wanita Islam haram hukumnya kawin dengan pria bukan Islam. Dasar keharamannya termaktub di dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 221. "Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu". Ini dapat disimpulkan bahwa wanita muslim selamanya diharamkan untuk menikah dengan laki-laki non muslim termasuk ahli kitab. Ini menjadi syarat mutlak bagi si wanita bahwa calon suami harus beragama Islam.
2. Pria Islam menikah dengan wanita bukan Islam. Para Ulama’ berpendapat bahwa wanita non muslim yang boleh dinikahi adalah dari golongan ahli kitab (kitabiyah). Namun, dalam perkembangan selanjutnya Yusuf Al-Qardlawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan Kitabiyah tidak mutlak, tetapi dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib untuk diperhatikan, yaitu, (1) Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama samawi; (2) Wanita Kitabiyah yang muhshanah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina); (3) Ia bukan Kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum Muslimin. Maka, apabila keluar dari ketiga syarat itu ia tidak boleh dinikahi.
Demikian juga aturan agama-agama lain yang lebih menekankan pada larangan untuk menikah dengan pemeluk yang lain. Agama Katholik pada prinsipnya melarang perkawinan beda agama kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup memberi dispensasi. Agama Protestan membolehkan perkawinan beda agama dengan syarat pihak non-Protestan harus membuat pernyataan keberatan perkawinan dilangsungkan di gereja Protestan. Demikian pula agama Hindhu dan Budha melarang perkawinan beda agama.
D. Kawin Beda Agama dari Aspek HAM
Penitikberatan terhadap larangan kawin beda agama oleh UU dan hukum agama ternyata ditentang keras oleh para pejuang HAM. Adanya penolakan terhadap perkawinan beda agama di Indonesia pada dasarnya merupakan tindakan yang diskriminatif yang tidak sesuai prinsip-prinsip HAM itu sendiri. Padahal, masalah agama merupakan salah satu komponen HAM yang dijamin oleh UUD sebagai peraturan perundang-undangan tertinggi di Indonesia. Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 dengan tegas menjamin adanya kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan yang dianut oleh setiap orang. Kebebasan beragama ini pada dasarnya juga berarti negara tidak turut campur dalam masalah-masalah agama, tak terkecuali dalam masalah perkawinan. Karena dalam UU HAM Pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa perkawinan yang sah hanya dapat dilakukan atas kehendak bebas dari kedua pihak. Jadi, prinsip perkawinan hanya bisa dilakukan jika tidak ada paksaan dari kedua belah pihak. Dan larangan yang menyatakan keharaman tentang perkawinan ini sangatlah bertolak belakang dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia.
E. Solusinya
Perkawinan yang tidak disahkan baik itu menurut agama maupun Negara, menimbulkan masalah serius tersendiri dalam pemecahannya. Jika seseorang masih memegang prinsip bahwa perkawinan ini baginya harus dilakukan, menurut Prof. Wahyono Darmabrata ada empat cara yang bisa dilakukan yaitu meminta penetapan pengadilan, perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri.
Namun, larangan terhadap pernikahan ini pada dasarnya adalah bertujuan untuk menjauhkan dari fitnah dan madharat di kemudian hari. Karena masalah-masalah baru akan muncul setelah terjadinya pernikahan. Misalnya, perkembangan anak tentunya akan mempengaruhi masa depannya. Karena prinsip yang dimiliki oleh ortunya pun sudah tidak harmonis. Maka. Pernikahan yang sah baik oleh agama maupun Undang-undang adalah lebih baik dan tentu lebih nyaman bagi kedua belah pihak.
IV. KESIMPULAN
Dari pemaparan makalah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa aturan hukum negara Indonesia mengenai perkawinan, dapat di laksanakan dan sah menurut hukum apabila sesuai dengan hukum agama masing-masing. Mengenai sah dan tidaknya perkawinan beda agama diserahkan pada hukum agama masing-masing. Namun dalam Undang-undang sendiri sangat memberatkan pernikahan ini, pasalnya, hampir semua agama di Indonesia menolaknya. Maka untuk menjaga kemaslahatan, pernikahan yang wajar dalam artian seagama adalah lebih baik.
V. PENUTUP
Demikian pemaparan makalah yang dapat kami sampaikan. Kami yakin dalam penulisan materi makalah ini masih banyak kesalahan-kesalahan. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah kami yang selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat pada kita semua.

Kawin Beda Agama

Beberapa hari lalu, saya mendapat hadiah buku kecil yang menarik dari seorang tokoh Islam di Bekasi. Judulnya, ”Perkawinan Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda”. Penulisnya seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Muhammad Daud Ali (alm.). Buku setebal 32 halaman ini ditulis tahun 1992.

Setelah menguraikan pandangannya berdasarkan hukum Islam dan sejumlah peraturan hukum di Indonesia, Prof. Daud Ali menarik beberapa kesimpulan, diantaranya:

(1) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dengan berbagai cara pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan, karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-undang Perkawinan Indonesia.

(2) Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak konstitusional, juga tidak legal.

Demikianlah kesimpulan Prof. Daud Ali tentang perkawinan antar agama di Indonesia. Penegasan guru besar UI itu perlu kita renungkan, mengingat saat ini sejumlah guru besar liberal yang mengajar di sejumlah kampus Islam, seperti Prof. Musdah Mulia dan Prof. Zainun Kamal, justru aktif membongkar dasar-dasar hukum Islam dalam soal perkawinan, dan menciptakan hukum baru. Buku Fiqih Lintas Agama yang ditulis oleh sejumlah profesor di UIN Jakarta dan aktivis liberal juga terus-menerus disebarkan di tengah masyarakat Indonesia. Seperti kita tulis dalam CAP-234 lalu, buku Fiqih Lintas Agama ini bukan hanya membolehkan perkawinan antar agama, tetapi melangkah lebih jauh lagi dengan menganjurkan masyarakat Indonesia agar melakukan perkawinan antaragama.

Kata buku terbitan Paramadina dan (edisi Inggrisnya oleh) International Center for Islam and Pluralism (ICIP) ini: “Di tengah rentannya hubungan antar agama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat dijadikan wahana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama. Bermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut kerukunan dan kedamaian.”

Sebagai umat beragama, kita tentu sulit memahami logika macam apakah yang bercokol di otak para guru besar bidang agama ini, sampai tega-teganya menganjurkan umat Islam melakukan perkawinan antar-agama, demi membangun kerukunan umat beragama. Lagi pula apakah mereka juga melakukan hal itu pada keluarga mereka sendiri; pada anak-anak mereka sendiri?

Lihatlah, apakah nama-nama yang tercantum sebagai penulis Buku Fiqih Lintas Agama dan penyebar buku ini -- seperti Zainun Kamal, Nurcholish Madjid, Kautsar Azhary Noer, Syafii Anwar, dan sebagainya -- juga bersedia menikahkan anak-anaknya sendiri dengan orang yang beragama lain?

Kita patut bertanya-tanya, mengapa sebagian mereka aktif menikahkan orang lain dengan pasangan beda agama, tetapi justru mereka sendiri tidak menerapkannya. Ketika putrinya, Nadia Madjid, akan menikah dengan seorang Yahudi Amerika, Nurcholish Madjid mengirimkan surat keberatannya. Diantara isinya ialah mensyaratkan calon mantunya itu harus masuk Islam. ”Kalau memang jadi, dia mutlak harus masuk agama kita,” tulis Nurcholish Madjid dalam surat bertanggal 13 Agustus 2001.

Bahkan, lebih jauh lagi, Nurcholish memberi syarat yang lebih berat untuk calon mantunya waktu itu: ”Dan yang lebih penting, bahwa pengislaman itu tercatat, dengan surat keterangan/tanda bukti yang mencantumkan nama-nama para saksi resmi (biasanya dua orang, lebih banyak lebih baik) dan tanda tangan mereka. Karena itu, acara pengislaman tersebut harus dilaksanakan di sebuah lembaga yang diakui, seperti Islamic Center setempat, dan dibimbing oleh yang berwenang di situ.”

Kita tahu, apa yang kemudian terjadi pada kasus perkawinan antara Nadia Madjid dengan David, seorang Yahudi Amerika. Kita tidak pernah tahu, bagaimana sebenarnya sikap Nurcholish Madjid terhadap buku Fiqih Lintas Agama ini. Yang jelas buku ini diterbitkan sebelum dia meninggal dunia. Namanya tercantum sebagai salah satu Tim Penulis di buku ini. Yang kita tahu kemudian, tahun 2006, ICIP yang dipimpin Dr. Syafii Anwar – sahabat dekat dan pengikut setia Nurcholish Madjid – malah menerbitkan edisi bahasa Inggris dari buku yang jelas-jelas merusak aqidah dan syariat Islam ini. Dalam edisi bahasa Inggris yang diberi judul ”Interfaith Theology” ini, nama Nurcholish Madjid tetap dicantumkan dalam jajaran penulis, setelah nama Zainun Kamal, seorang guru besar UIN Jakarta yang juga berprofesi sebagai ’penghulu swasta’ dalam perkawinan antar-agama.

Kita perlu benar-benar memperhatikan pemikiran dan perilaku para penganjur perkawinan antar-agama dari kalangan dosen-dosen UIN dan aktivis liberal ini. Sebab, sadar atau tidak, melalui pemikiran dan tindakan tersebut, mereka sebenarnya sudah melakukan sebuah tindakan yang merobohkan bangunan masyarakat Islam dari dasarnya, yaitu merusak institusi keluarga Muslim. Padahal, dari keluarga inilah diharapkan akan lahir generasi masa depan yang tangguh, yang tentu saja harus didasari dengan keimanan yang kokoh. Jika di tengah keluarga ini kedua orang tuanya berbeda keimanan, bagaimana mungkin akan terbangun generasi anak yang shalih menurut Islam?

Karena itulah, perkawinan antar-agama bukan hanya menjadi masalah bagi Islam, tetapi juga bagi agama-agama lain. Dalam bukunya, Prof. Daud Ali mengutip ketentuan perkawinan antar-agama pada sejumlah agama di Indonesia. Agama Katolik dengan tegas menyatakan bahwa ”Perkawinan antara seorang Katolik dengan penganut agama lain tidak sah” (Kanon 1086). Namun demikian, bagi mereka yang sudah tidak mungkin dipisahkan lagi karena cintanya sudah terlanjur mendalam, pejabat gereja yang berwenang, yakni uskup, dapat memberi dispensasi (pengacualian dari aturan umum untuk suatu keadaan yang khusus) dengan jalan mengawinkan pemeluk agama Katolik dengan pemeluk agama lain itu, asal saja kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan dalam kanon 1125 yakni:

1. yang beragama Katolik berjanji (a) akan tetap setia pada iman Katolik, dan (b) bersedia mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara Katolik.

2. Sedangkan yang tidak beragama Katolik berjanji antara lain (a) menerima perkawinan secara Katolik (b) tidak akan menceraikan pihak yang beragama Katolik, (c) tidak akan menghalangi pihak yang Katolik melaksanakannya imannya dan (d) bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

Karena akan menimbulkan berbagai konflik dalam keluarga, maka menurut agama Katolik, perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama hendaklah dihindari. Demikian kutipan dari buku Prof. Daud Ali.

Dr. Al. Purwohadiwardoyo MSF, dalam bukunya yang berjudul ”Perkawinan Menurut Islam dan Katolik, Implikasinya dalam Kawin Campur”, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), menulis sebagai berikut:

“Menurut hukum gereja katolik, perkawinan mereka (kawin campur.pen) itu bukanlah sebuah sakramen, sebab salah satu tidak beriman kristen. Hukum gereja katolik memang dapat mengakui sahnya perkawinan mereka, asal diteguhkan secara sah, namun tidak mengakui perkawinan mereka sebagai sebuah sakramen (sebuah perayaan iman gereja yang membuahkan rahmat berlimpah. Pen). (hal. 18-19).

Lebih jauh dikatakan dalam buku ini:

“Kesulitan lain muncul dalam hal memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka. Pihak Katolik mempunyai kewajiban untuk mendidik anak-anak dalam semangat katolik, bahkan ia harus berusaha sekuat tenaga untuk membaptis mereka secara katolik. Padahal kewajiban yang sama juga ada pada pihak yang beragama Islam.”(hal. 77).

Karena memandang penting dan strategisnya soal perkawinan ini, maka pada awal tahun 1970-an, umat Islam Indonesia telah mengerahkan segala daya upaya untuk menggagalkan RUU Perkawinan sekular yang diajukan pemerintah ke DPR ketika itu. Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam pasal 10 ayat (2) disebutkan:

”Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.”

Pasal dalam RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal 16 yang menyatakan: ”Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”

Dalam tulisannya tentang Perbandingan Hak-hak Asasi Manusia Deklarasi PBB dengan Islam, khusus tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: ”Oleh sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan hukum syariat Islam yang jelas nyata itu, lalu pindah bergantung kepada ”Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian anggota yang membuat ”Hak-hak Asasi” sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam agama yang mereka peluk.” (Hamka, Studi Islam, (1985:233).

Jika kaum sekular di awal 1970-an berusaha meluluskan sebuah RUU Perkawinan sekular yang meninggalkan agama, maka kini sejumlah dosen UIN Jakarta, seperti Prof. Zainun Kamal dan Musdah Mulia, justru berusaha membuat hukum syariat baru, bahwa perkawinan antar agama adalah halal. Lebih jauh, Prof. Zainun Kamal bahkan sering bertindak sebagai penghulu swasta dalam perkawinan antar-agama.

Dengan sokongan lembaga-lembaga donor Barat seperti The Asia Foundation, apa yang dikerjakan oleh para ilmuwan agama dalam merusak hukum Islam ini adalah jauh lebih besar kadar kejahatan dan daya rusaknya. Sebab, yang mereka lakukan adalah merusak konsep kebenaran itu sendiri. Mereka berusaha menciptakan kebingungan dan ketidakpastian dalam hukum Islam.

Seperti kita ketahui, pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tahun 1974 menyatakan: ”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Dalam penjelasan pasal demi pasal menyatakan dengan tegas, bahwa: ”Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”

Dengan legitimasinya sebagai guru besar bidang keagamaan di kampus berlabel Islam, maka para dosen penganjur perkawinan antar-agama itu berusaha meruntuhkan bangunan hukum Islam dalam soal perkawinan. Dengan posisinya itu, seolah-olah mereka memiliki otoritas di bidang hukum Islam, sehingga pendapatnya juga dianggap mewakili Islam. Toh selama ini, pimpinan kampus dan pihak pemerintah juga membiarkan saja perilaku para dosen tersebut. Sesuai dengan doktrin liberal, tidak ada penafsiran yang tunggal dalam soal hukum Islam. Mereka menyebarkan paham, perbedaan pendapat dalam soal apa saja adalah sah dan harus dihormati.

Tidak heran, setelah dikawinkan dengan Kalina (Muslimah) oleh Prof. Zainun Kamal, pesulap nyentrik Deddy Corbuzier (Katolik) merasa perkawinannya telah sah menurut agama. Ia berujar, ”Yang penting, kami sah dulu secara agama.” (Tabloid C&R edisi 28 Februari-06 Maret 2005).

Memang, banyak cara merusak Islam. Tapi, kita tidak pernah risau dengan semua tindakan mereka tersebut. Toh, Islam adalah milik Allah. Masing-masing tindakan sudah disediakan balasan yang setimpal. Tindakan merusak Islam pasti akan berdampak kepada pelakunya sendiri. Jika tidak di dunia, pasti di akhirat. Wallahu A’lam. [Depok, 10 Jumadilawwal 1429 H/16 Mei 2008.

Kamis, 07 Januari 2010

Studi Komparatif Masyarakat Muslim”

Apakah keberadaan umat Islam mitos atau realitas? Apakah munculnya negara Islam adalah wujud kesalehan (piety) rakyatnya dan tingginya kedudukan ulama? Benarkah semakin taat beragama semakin rendah pula kesadaran gendernya? Apa yang membuat perempuan Islam lebih maju, reformasi politik atau pembaruan agama? Dan haruskah ketaatan beragama mendorong sikap anti modernitas?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sudah menjadi perdebatan lama dan tampaknya akan terus diperbincangkan di masa mendatang. Para sarjana Muslim yang memakai kacamata normatif cenderung mudah menyimpulkan bahwa umat Islam merupakan satu kesatuan masyarakat yang berdiri kokoh di atas kesatuan ideologi agama. Keragaman praktik politik dan kehidupan sosial dipandang sebagai fenomena sekunder yang diyakini tetap berakar pada sistem nilai yang sama. Dengan kata lain, kesadaran simbolik selaku penganut agama dianggap lebih penting dalam menentukan identitas Muslim dibanding manifestasi tindakan sosial mereka dalam tataran empirik.

Secara kebetulan pula pandangan ini dipegang kalangan esensialis dalam tradisi kesarjanaan Barat. Karena bertujuan mencari kekhususan Islam, mereka lebih mengarahkan perhatiannya pada aspek doktrin dan nilai umum masyarakat Muslim. Pada tataran ini tidak banyak dijumpai variasi maupun kontradiksi sehingga upaya menciptakan generalisasi dan esensialisasi karakteristik umat Islam mudah dirumuskan. Bisa dipastikan komunitas Muslim di mana pun percaya pada al-Quran atau Nabi Muhammad, dan menganggap shalat, puasa, dan zakat sebagai wajib bagi mereka yang mampu. Secara umum pula kaum Muslimin beranggapan bahwa agama mereka tidak sekadar mengurusi soal rohani dan para ulama tidak hanya bertanggung jawab dalam masalah ritual peribadatan.

Lepas dari kenyataan tersebut, melihat Islam hanya dari aspek doktrin dan nilai-nilai umum akan cenderung mengecilkan arti perbedaan yang mengemuka di dalam masyarakat Muslim. Terlalu banyak perbedaan mendasar yang tidak lagi bisa dipahami sebagai sekadar keragaman. Kita bisa temukan pola kehidupan umum Muslim yang begitu beraneka mulai dari sistem kekerabatan, hubungan antarjenis, kepemimpinan sosial-politik, praktik ekonomi sampai kesenian, dan pendidikan. Dalam banyak kasus institusi masyarakat Muslim tersebut lebih dipengaruhi sistem nilai lain daripada nilai universal. Meskipun tetap berpengaruh, keyakinan agama tampaknya tidak begitu saja mampu menafikan sistem nilai lain, baik yang bersifat lokal, nasional, maupun internasional.

Praktis karena persoalan ini beberapa sarjana sosial merasa skeptis dengan esensialisasi dan homogenisasi fenomena Islam. Mereka ragu terhadap konsep “umat”, tidak saja karena keragaman internal yang begitu tinggi, tetapi dalam banyak hal komunitas Muslim lebih dekat dengan budaya non-Muslim yang mengelilinginya dibanding dengan sesama Muslim di wilayah lain. Konsep “Islam” sendiri tidak luput dari sasaran keraguan karena begitu banyak pemaknaan terhadap agama ini sampai-sampai mengakibatkan perpecahan yang akut. Konflik antarmuslim seringkali tidak bisa diremehkan, atau dipandang sebagai fenomena semu, karena biaya yang harus dibayar sedemikian tinggi. Harus diakui bahwa sejak tahun-tahun awal sepeninggal Nabi Muhammad, umat Islam tidak pernah sepi dari konflik internal. Adakalanya hanya mengemuka dalam bentuk perdebatan agama atau friksi kelompok, tetapi adakalanya pula berdarah-darah bahkan sampai perang dalam skala besar.

Menjadi anakronistik jika konflik seperti ini tidak dipandang sebagai fakta penting hanya karena para aktor yang terlibat di dalamnya memeluk agama yang sama. Ujung-ujungnya banyak peristiwa pertentangan sosial dipandang sebagai sesuatu di luar Islam atau direduksi menjadi kesalahfahaman sebagaimana yang diyakini kaum esensialis dan apologetik. Dengan melihat intensitas konflik dan dalamnya perbedaan tersebut, adilkah kita mengecilkan arti keragaman umat Islam? Pertanyaan ini bukan untuk meniadakan pengaruh imajinasi tentang “Islam” atau “umat”, karena betapa pun simbolik dan abstrak doktrin-doktrin tersebut, sebagian perilaku Muslim ditentukan olehnya. Namun kita perlu ingat bahwa perbedaan di antara umat Islam sangatlah nyata dan mendasar, bukan semu atau akibat kurangnya pemahaman terhadap nilai-nilai agama.

Rasanya tidak mudah mengurai berbagai fenomena kontradiktif yang bertalian dengan keseragaman dan keragaman Islam. Kita tidak saja dihadapkan pada pertanyaan apakah “Islam” dan “Muslim” itu merupakan mitos atau realitas, tetapi juga pada persoalan bagaimana dinamika keislaman berproses. Karena itu kita tidak hanya perlu memetakan aspek mana yang sama dan yang berbeda, tetapi juga dituntut menjelaskan mengapa terjadi kesamaan dan perbedaan. Tidaklah cukup bagi kita memilah Islam ke dalam wilayah normatif, doktriner, dan ideologis di satu sisi, dan membedakannya dari Islam historik, empirik dan praktis di sisi lain. Ada bermacam-macam variabel perantara yang perlu dijelaskan untuk menghubungkan yang normatif dan empirik atau yang seragam dan beragam sebelum kita sampai pada kesimpulan tentang fenomena tertentu dalam Islam.

Buku Faithlines: Muslim Conception of Islam and Society, yang kemudian diterjemahkan menjadi Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim (2006), karangan Profesor Riaz Hassan ini mencoba menawarkan alternatif untuk memahami persoalan-persoalan tersebut. Sebagai karya ilmu sosial, buku ini menekankan pentingnya analisis pada tingkat empirik, dan oleh karenanya metode survei menjadi pilihan tepat untuk penggalian data. Meskipun tidak bermaksud membuat generalisasi, dan lebih menekankan responden dari latar belakang kelas menengah, kajian komparatif yang disajikan sangat menarik. Pilihan empat negara —Indonesia, Pakistan, Kazakhstan, dan Mesir— cukup merepresentasikan keragaman masyarakat Muslim. Secara berurutan, Negara-negara tersebut mewakili Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Timur Tengah yang masing-masing memiliki sejarah, budaya dan politik distingtif. Karena sistematis menggunakan instrumen penelitian yang sama, kita bisa mengukur secara lebih pasti kesamaan dan keragaman yang ada di negara-negara tersebut dalam berbagai sisi kehidupan sosial-keagamaan.

Penelitian tentang masyarakat Islam yang menggabungkan metode survei dan perbandingan Negara (cross country comparative) terbilang langka. Literatur yang beredar umumnya mengkaji komunitas Muslim dari aspek normatif, dan kalau pun membahas dimensi empirik, rata-rata sarjana menerapkan pendekatan kualitatif. Kepustakaan yang membandingkan dua atau lebih negara-negara Muslim cukup tersedia, tetapi lagi-lagi menggunakan analisis kualitatif. Dari segi data, kajian-kajian tersebut telah berperan besar dalam proses akumulasi pengetahuan tentang masyarakat Muslim, tetapi kita juga memerlukan kajian empirik yang secara sistematis dan terukur menggali realitas Muslim kontemporer.

Aspek kehidupan agama yang dijadikan objek kajian dalam buku ini adalah kepercayaan sehari-hari (everyday belief). Cakupannya cukup luas, mulai dari sikap Muslim terhadap doktrin-doktrin agama, praktik ritual keagamaan mereka, sampai pada pandangan mereka mengenai isu-isu kontemporer seperti hubungan entarjenis kelamin (gender relations), negara Islam, toleransi dan pluralisme. Melalui pendekatan ini kita bisa melihat fenomena Islam yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jika kajian normatif memberi kita informasi tentang universalitas islam, kali ini kita akan temukan bagaimana nilai-nilai tersebut disikapi, dipahami, dan ditransformasikan dalam praktik sosial sehari-hari. Sebaliknya, jika kajian empririk senantiasa menyajikan fakta-fakta keras (hard facts) yang beragam tentang Islam, buku ini mencoba menggali imajinasi dan kepercayaan subjektif Muslim melalui wawancara testruktur. Hasilnya sangat menarik, tidak ada kesimpulan sederhana yang dapat mewakili gambaran Muslim secara universal.

PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA

PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA


Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masing-masing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahsan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.
1. Perspektif Fungsionalis
Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Melalui Talcott Parsons (1937), Kingslay Davis (1937), dan Robert K. Merton (1957) sebagai juru bicara terkemuka, perspektif ini melontarkan pandangan bahwa setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus-menerus, karena hal itu dipandang fungsional.
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut: (1) Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian-bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya. (2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi dari satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi. (3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari mekanisme ini adalah komitmen anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama. (4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium, dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni atau stabilitas. (5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat. Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang diberikan pada sistem sosial. Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan kontrol terhadap perilaku individu.

2. Perspektif Konflik
Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Salah satu pertanyaan menarik yang terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain untuk mematuhi kehendak kelompok dominan. Kepatuhan inilah yang pada akhirnya memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.
3. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Dalam wacana sosiologi kontenporer, istilah interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer melalui tiga proposisinya yang terkenal: (a) Manusia berbuat terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi mereka; (b) Makna-makna tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial; (c) Tindakan sosial diakibatkan oleh kesesuaian bersama dari tindakan-tindakan sosial individu.
Dengan mendasarkan pada ketiga proposisi diatas, perspektif interaksionisme simbolik melihat pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan hubungan-hubungan sosial. Pengaruh paling signifikan dari agama terhadap individu adalah berkenaan dengan perkembangan identitas sosial. Dengan menjadi anggota dari suatu agama, seseorang lebih dapat menjawab pertanyaan “siapa saya?”.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa identitas keagamaan, dan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan agama merupakan produk dari sosialisasi. Oleh karenanya, kalangan interaksionis lebih melihat agama dari sudut peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas sosial dan penempatan individu dalam masyarakat.
Dari ketiga perspektif utama dalam sosiologi diatas, yang nantinya akan dibahas lebih detail dalam bab-bab selanjutnya, setidaknya kita sudah bisa melihat apa sebenarnya yang menjadi pokok kajian para sosiolog ketika mereka mengkaji permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Luasnya cakupan dimensi agama yang ada sebagai konseskuensi dari kecenderungan para sosiolog mendefinisikan agama secara inklusif sebenarnya telah membuka kesempatan yang luas bagi berbagai perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan kontribusi maksimal bagi upaya memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan beragam keyakinan dan doktrin-doktrin keagamaan yang ada. Namun demikian, pembahasan sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang berkembang dimasyarakat selama ini cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda agama bagi masyarakat, yaitu fungsi integratif dan disintegratif. Oleh karena itu, sebelum kita berupaya mengaplikasikan berbagai perspektif sosiologis untuk mengungkapkan fenomena keberagamaan yang lebih luas dan kompleks, secara sepintas kita perlu untuk melihat kembali bagaiamana para sosiolog menggambarkan fungsi ganda agama ini. Dari sini setidaknya kita akan mendapatkan gambaran bagaimana konsekuensi sosial yang muncul dari serangkaian ritual dan praktek keagamaan dilihat dari perspektif sosiologis.

MASALAH SOSIAL DAN MANFAAT SOSIOLOGI


Artikel Sosiologi

MASALAH SOSIAL DAN MANFAAT SOSIOLOGI


A. PENGANTAR
Sebagaimana telah diuraikan pada permulaan buku ini, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala yang wajar dalam masyarakat seperti norma-norma, kelompok , lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, proses , perubahan dan kebudayaan, serta perwujudannya. Tidak semua gejala-gejala tersebut berlangsung secara normal sebagaimana dikehendaki masyarakat bersangkutan.
Gejala-gejala yang tidak dikehendaki merupakan gejala abnormal atau gejalapatologis. Hal itu disebabkan karena unsur-unsur masyarakat tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya,sehingga menyebabkan kekecewaan dan penderitaan. Masalah – masalah tersebut berbeda dengan problema-problema lain dalam masyarakat, karena maslaah-masalah tersebut berhubungan erat dengan nilai-nilai dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Hal ini dinamakan masalah karena bersangkut paut dengan gejala-gejala yang mengganggu kelanggengan dalam masyarakat. Dengan demikian, masalah-masalah menyangkut nilai-nilai yang mencangkup pula segi moral, karena untuk dapat mengklasifikasikan suatu persoalan sebagai masalah harus digunakan penilaian sebagai pengukurannya. Apabila suatu masyarakat menganggap sakit jiwa, bunuh diri, perceraian, penyalahgunaan obat bius (narcotics addiction) sebagai masalah , maka masyarakat tersebut tidak semata-mata menunjuk pada tata kelakuan yang menyimpang. Akan tetapi sekaligus juga mencerminkan ukuran-ukuran umum mengenai segi moral. Setiap masyarakat tentunya mempunyai ukuran yang berbeda mengenai hal ini seperti minsalnya soal gelandangan merupakan masalah nyata menghadapi kota-kota besar di Indonesia. Tetapi belum tentu masalah tadi dianggap sebagai masalah di tempat lainnya. Hal ini juga tergantung dari faktor waktu. Mungkin pada waktu-waktu lampau permainan judi dianggap sebagai masalah yang penting akan tetapi dewasa ini tidak. Selain itu juga ada masalah-masalah yang tidak bersumber pada penyimpangan norma-norma masyarakat, tetapi lebih banyak mengenai susunannya, seperti masalah penduduk, pengangguran dan disorganisasi keluarga serta desa.
Sudah tentu sosiologi juga dapat mempunyai manfaat bagi bidang-bidang lain seperti pemerintahan, pendidikan, industri dan lain sebagainya.

B. MASALAH SOSIAL, BATASAN DAN PENGERTIAN
Acap kali dibebankan antara dua macam persoalan yaitu, antara masalah masyarakat (scientific or societal problem) dengan problema ( ameliorative or problem).
Yang pertama menyangkut analisis tentang macam-macam gejala kehidupan masyarakat. Sedang yang kedua meneliti gejala-gejala abnormal masyarakat dengan maksud untuk memperbaiki atau bahkan untuk menghilangkannya. Sosiologi menyelidiki persoalan-persoalan umum dalam masyarakat dengan maksud untuk menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan kemasyarakatan.
Walaupun sosiologi meneliti gejala-gejala kemasyarakatan, namun juga perlu mempelajari masalah-masalah . Karena ia merupakan aspek-aspek tata kelakuan . Dengan demikian, sosiologi juga berusaha mempelajari masalah seperti kejahatan, konflik antar ras, kemiskinan, perceraian, pelacuran, delinkuensi anak-anak dan seterusnya. Dalam hal ini sosiologi bertujuan untuk menemukan sebab-sebab terjadinya masalah sosiologi tidak terlalu menekan pada pemecahan atau jalan keluar dari masalah-masalah tersebut. Karena usaha untuk mengatasi maslah hanya mungkin berhasil apabila didasarkan pada kenyataan serta latara belakangnya, maka sosiologi dapat ikut serta membantu mencari jalan keluar yang mungkin dapat dianggap efektif.
Masalah merupakan bagian sosiologi, sebenarnya masalah merupakan hasil dari proses perkembangan masyarakat. Artinya problema tadi memang sewajarnya timbul, apabila tidak diinginkan adanya hambatan-hambatan terhadap penemuan-penemuan baru dan gagasan baru. Dalam jangka waktu masyarakat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan, timbullah maslah sosial, sampai unsur-unsur masyarakat berada dalam keadaan stabil lagi. Masalah sosial merupakan akibat dari interaksi sosial antara individu, antara individu dengan kelompok, atau antar kelompok. Interaksi sosial berkisar pada ukuran nilai adapt – istiadat, tradisi dan ideology ditandai dengan suatu proses sosial yang disosiatif.
Masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan sosial.
Di samping kebutuhan-kebutuhan tersebut, atas dasar unsur biologis, berkembang pula kebutuhan lain yang timbul karena pergaulan dalam masyarakat, yaitu kedudukan sosial, peranan sosial dan sebagainya. Apabila individu tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologis serta kebutuhan-kebutuhan biologis. Dan dia akan merasa kehidupan ini tak banyak gunanya.
Untuk merumuskan apa yang dinamakan dengan masalah sosial tidak begitu sukar, dari pada usaha-usaha untuk membuat suatu indeks yang memberi petunjuk akan adanya masalah sosial tersebut. Banyak yang mengusahakan adanya indeks tersebut seperti minsalnya indeks simple ratesi yaitu angka laju gejala-gejala abnormal dalam masyarakat, angka-angka bunuh diri, perceraian dan sebgainya. Sering juga diusahakan system composite indice yaitu gabungan indeks-indeks dari bermacam-macam aspek yang mempunyai kaitan satu dengan lainnya.
Indeks-indeks tersebut sukar untuk dijadikan ukuran mutlak, karena system nilai dan norma-norma dalam setiap masyarakat berbeda satu dengan lainnya. Angka-angka bunuh diri yang tinggi di dalam suatu masyarakat tertentu mungkin dianggap sebagai suatu indeks akan adanya disorganisasi.

Creative by me...

DEBUS

Pernah mendengar kata Debus, saya yakin hampir semua orang pernah mendengar bahkan mungkin ada yang pernah menyaksikan kesenian itu, kesenian yang sekaligus merupakan budaya Banten tersebut lambat laun telah di tinggalkan, saya berani bertaruh generasi saya bahkan generasi di bawah saya yang asli pribumipun banyak yang hanya mendengar tanpa pernah menyaksikan sendiri kesenian tersebut. Saya pribadi pun hanya pernah menyaksikan secara langsung 2 kali itupun saat masih belia.
Debus merupakan kesenian bela diri dari Banten. Kesenian ini diciptakan pada abad ke-16, pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570). Debus, suatu kesenian yang mempertunjukan kemampuan manusia yang luar biasa, kebal senjata tajam, kebal api, minum air keras, memasukan benda kedalam kelapa utuh, menggoreng telur di kepala dan lain-lain. ( Wikipedia )
Dahulu kesenian ini sering dimainkan saat acara-acara keresidenan, bahkan tidak jarang debus sering menjadi hiburan pada saat pemilihan kepala desa, hajatan di kampung-kampung dsb.

Kesenian yang identik dengan silat dan sering memamerkan kekebalan tubuh ini memang semakin sulit kita temukan, mungkin karena sedikitnya minat pemuda banten untuk menjadi seorang pendekar Debus, ditambah jarangnya pertunjukan debus ini dimainkan di suatu event tertentu, sehingga mereka para pendekar debus enggan untuk menekuni profesi ini.

Bagaimanapun Debus adalah sesuatu kesenian dan Budaya Banten yang harus tetap kita jaga dan lestarikan, jangan sampai kesenian ini jatuh dan diaku oleh Negara tetangga kita.